Blogroll

http://arsiteklopedia.blogspot.com

Visitors

Heart, Action, Inspiration

Atau yang biasa saya singkat HAI. Artinya melakukan semua kegiatan dengan hati yang tulus, dengan aksi secara langsung, dan menginspirasi orang-orang di sekitar saya. Amin :D

Mencoba untuk Melangkah yang Lebih Baik Lagi

Hidup ini hanya sekali, sekali dan harus berarti. Untuk ibuku, bapakku, kedua kakakku, keponakanku, sahabatku dan teman-temanku. Aku yakin bisa membahagiakan kalian semua.

Menuntut Ilmu di Prodi Teknik Arsitektur Universitas Negeri Semarang

Menjadi seorang arsitek adalah impian saya sejak kecil, untuk itu ingatkan saya teman jika saya berada di luar haluan. Kalau bukan kalian, siapa lagi !

Public Speaking yang Baik

Harapan saya yang ini adalah memiliki public speaking yang baik. Pandai berbicara di depan banyak orang, sehingga nantinya dapat dikenal banyak teman.

Ingatkan Saya Teman !!!

Ingatkan saya teman jika saya mulai malas mengerjakan tugas, jika saya menunda sholat dan pekerjaan saya, jika saya tidak memperhatikan dosen ketika di kelas, jika saya tidak mengumpulkan tugas tepat waktu.

Bersama Teman-teman SMK Negeri 1 Blitar saat Diesnatalis 1 Oktober 2011 Lalu

Orang bilang masa SLTA adalah masa yang paling indah, saya pikir saya setuju dengan pendapat itu.

Kamis, 02 Mei 2013

Mengenal Arsitektur Nusantara Khas Panglipuran - Bali


Desa Penglipuran merupakan desa dengan bentuk permukaan tanah berkontur sehingga terlihat jalan desa berundag-undag. Tata letak perumahan di masing-masing keluarga tetap menganut falsafah Tri Hita Karana. Falsafah dalam agama Hindu selalu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, serta menusia dengan Tuhan. Pura sebagai bangunan suci terletak di hulu paling atas dari desa ini. Perumahan di tengah desa dan usaha tani di pinggir atau hilir desa.Perjalanan ditempuh dengan jarak 45 kilometer dari Denpasar.

Sejarah : 
Konon penduduk desa penglipuran pernah diminta bantuannya oleh Raja Bangli untuk bertempur melawan kerajaan Gianyar, karena keberaniannya, penduduk desa diberikan jasa oleh raja Bangli berupa tanah yang lokasinya sekarang disebut desa adat Penglipuran.



Konsep Tata Ruang Desa :
Konsep pola dan tata letak yang dipakai adalah TRI MANDALA, Penekanan Utama dalam Konsep Arsitektur Tradisional Bali adalah Tri Hita Karana

Beberapa Konsepsi dan filosofi dari tata ruang desa Penglipuran, sbb :
• Tat Twam Asi
memandang keragaman dalam suatu kesetaraan & terhadap sesama manusia & lingkungannya.

• Rwa Bhineda
Merupakan konsep Dwi Tunggal

• Bhuana Agung – Bhuana Alit
Bhuana Agung ( Macrocosmos ) merupakan alam jagat raya berserta isinya, Bhuana Alit (Microcosmos ) dianalogkan sebagai fisik manusia.

• Desa, Kala, Patra
Diartikan sebagai Ruang, Waktu dan Situasi atau Tempat, Periode dan Kondisi

• Manik Ring Cacupu
Karya Arsitektur haruslah menyikapi alam beserta isinya untuk mampu bertahan & mencapai keharmonisan

• Dewata Nawa Sanga
Merupakan orientasi kosmis yang meliputi Sembilan Penjuru mata angin

• Andabhuana ( Bhuanaanda )
arah langit – Bumi , Kaja – Kelod, Kangin – kauh

Perwujudan pola dan struktur ruang tradisional Bali dilatar belakangi oleh alam pikiran keagamaan khususnya agama Hindu yaitu:
1.Tattwa (Filosofi)
2.Tata susila (etika)
3.Upacara (ritual).

Tataran konsep, orientasi ruang dalam yaitu aspek tata susila (etika), memisahkan ruang-ruang yang bersifat suci/sakral dengan fungsi kegiatan non suci ,ruang permukiman tradisional Desa Adat Penglipuran dibagi menjadi dua :  konsep arah orientasi dan sumbu religi yang melahirkan konsep ruang Panca Mandala.


Nilai ruang utama pada sumbu bumi berada pada daerah utara (gunung) dan nilai ruang nista pada daerah selatan (laut), sedangkan nilai ruang utama pada sumbu religi berada pada daerah timur (matahari terbit) dan nilai ruang nista berada padadaera h barat (matahari terbenam).   Akibat dari penerapan konsep sumbu bumi dan sumbu matahari pada tatanan permukiman desa adat nya, maka morfologi Desa Adat Penglipuran berbentuk linear dengan jalan
  • Pola Pemukiman Desa Adat Penglipuran berbentuk linier dengan sistem pembagian Tata Ruang horizontal bersumbu gunung dan laut dengan orientasi arah mata angin dengan sumbu KAJA ( Utara ) atau Gunung dan KELOD ( Selatan ) atau Laut.
  • Pola tersebut membagi desa dalam tiga bagian sesuai dengan Konsep TRI MANDALA yaitu ;
1. Ulu,
2. Tengah
3. Teben
Pola linier diterapkan pada pemukiman desa adat penglipuran karena kondisi alam desa ini merupakan daerah perbukitan sehingga pola linier mengikuti transis dari daerah tersebut.

Model Desain :
  • Rumah tinggal di desa adat penglipuran terdiri dari beberapa gugusan bangunan, terletak sejajar dengan orientasi linier yang dibagi oleh Rurung Gede yang menghadap ke arah Timur dan ke arah Barat. Tatanan ruang pekarangan perumahan yang menghadap  kearah timur tersusun sebagai berikut ; Rurung Gede, Angkul-angkul, natah, dengan sisi Utara terdiri dari 3 ( tiga ) komponen bangunan yaitu : Tempat Suci ( Sanggah ), Paon ( dapur ) dan Loji.
  • Sisi Selatan terdiri atas 2 ( dua ) komponen bangunan terdiri dari : Bale Adat dan Klumpu, sedangkan sisi Barat dari halaman pemukiman adalah Tebe ( Halaman belakang ) 






Unik, Rumah Kerucut Kampung Adat Wae Rebo - Flores NTT

Wae rebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Warga sekecamatan saja masih banyak yang belum mengenal kampung itu padahal pengunjung asing sudah banyak menghabiskan waktu liburannya di kampung terudik ini. Wae rebo boleh dibilang dusun internasional yang semakin banyak digemari oleh wisatawan asing. Wae rebo terletak di desa satar lenda, kecamatan satarmese barat, kabupaten manggarai, propinsi nusa tenggara timur. Hawanya cukup dingin, berada di ketinggian 1100 m di atas permukaan air laut. Kampung wae rebo diapit oleh gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung – kampung tetangga. Kampung wae rebo dikukuhkan oleh enklave sejak masa penjajahan belanda.

Pada awal mulanya Maro, secara turun – temurun nenek moyang orang Wae Rebo menuturkan bahwa, Maro adalah orang pertama yang tinggal dan menetap di Wae Rebo. Kampung Wae Rebo saat ini sudah memasuki generasi ke – 18. Satu generasi mencapai usia 60 tahun, sehingga usia kampung Wae Rebo saat ini ± 108 tahun. Jumlah kepala keluarga hingga tahun 2009 mencapai 88 kepala keluarga atau 1. 200 jiwa.

Salah satu hal yang menarik dari Desa Wae Rebo adalah rumah adatnya yang berbentuk kerucut dan atapnya terbuat dari daun lontar. Rumah adat yang disebut mbaru niang ini sepintas mirip dengan honai yang ada di Papua. Namun, yang membedakan adalah bentuk atap rumah Wae Rebo lebih kerucut dengan atap yang memanjang sampai menyentuh tanah.



Mbaru Niang adalah rumah adat yang terdiri dari 5 tingkat dengan atapnya kerucutnya yang khas. Tingkat pertama rumah ini disebut lutur atau tenda. Lantai pertama ini digunakan sebagai tempat tinggal sang penghuni. Di tingkat kedua atau lobo adalah tempat menyimpan bahan makanan dan barang.
Naik satu lantai, di lantai tiga atau lentar adalah lantai yang digunakan untuk menyimpan benih tanaman untuk bercocok tanam. Sama seperti tingkat 1, 2 dan 3, tingkat juga memiliki namanya sendiri, yaitu lempa rae. Lempa rae adalah tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang berguna saat hasil panen kurang berhasil. Nah, jika masuk di lantai paling akhir atau yang hekang kode, Anda bisa melihat aneka sesajian yang disimpan pemilik rumah untuk para leluhur.
proses pembangunan rumah ini adalah tanpa menggunakan paku, melainkan dengan konsep pasak dan pen, dan diikat dengan rotan sebagai penguat setiap tulang fondasinya. Menurut cerita dari masyarakat ini, banyak sekali arsitek Indonesia dan luar negeri yang datang dan menginap untuk mempelajari konsep rumah adat Wae Rebo ini.

Inti dari semua ini, saya melihat dan merasakan hebatnya arsitek dari jaman dahulu yang hanya tinggal 9 unit rumah serta terpelihara dengan baik hingga sekarang di kampung Wae Rebo.


Bahan makanan seperti beras harus diimpor dari kampung tetangga. Untuk mendapat pelayanan kesehatan dan kebutuhan pendidikan bagi anak – anak, harus keluar dari Wae Rebo. Untuk menjual hasil kebun harus berjalan kaki ke pasar sejauh 15 km. Warga tidak pernah berjalan lenggang. Keluar dan masuk Wae Rebo selalu ada beban di pundak ± 15 kg, baik bagi pria maupun wanita.

Hasil kerajinan tangan warga, hasil kopi, vanili dan kulit kayu manis laris sebagai barang cendera mata yang dibawa pulang oleh wisatawan denga harga yang memuaskan. Hasil buah – buahan kebun warga pun tidak ketinggalan dibeli oleh sang tamu. Warga Wae Rebo sangat berterima kasih kepada pelaku wisata yang memasarkan Wae Rebo, baik di dalam maupun di luar negeri. Terimakasih, semoga rumah adat ini dapat terus terjaga keasliannya sampai beberapa tahun kedepan.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More