Wae
rebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Warga
sekecamatan saja masih banyak yang belum mengenal kampung itu padahal
pengunjung asing sudah banyak menghabiskan waktu liburannya di kampung
terudik ini. Wae rebo boleh dibilang dusun internasional yang semakin
banyak digemari oleh wisatawan asing. Wae
rebo terletak di desa satar lenda, kecamatan satarmese barat, kabupaten
manggarai, propinsi nusa tenggara timur. Hawanya cukup dingin, berada
di ketinggian 1100 m di atas permukaan air laut. Kampung wae rebo diapit
oleh gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung – kampung
tetangga. Kampung wae rebo dikukuhkan oleh enklave sejak masa penjajahan
belanda.
Pada
awal mulanya Maro, secara turun – temurun nenek moyang orang Wae Rebo
menuturkan bahwa, Maro adalah orang pertama yang tinggal dan menetap di
Wae Rebo. Kampung Wae Rebo saat ini sudah memasuki generasi ke – 18.
Satu generasi mencapai usia 60 tahun, sehingga usia kampung Wae Rebo
saat ini ± 108 tahun. Jumlah kepala keluarga hingga tahun 2009 mencapai
88 kepala keluarga atau 1. 200 jiwa.
Salah
satu hal yang menarik dari Desa Wae Rebo adalah rumah adatnya yang
berbentuk kerucut dan atapnya terbuat dari daun lontar. Rumah adat yang
disebut mbaru niang ini sepintas mirip dengan honai yang ada di Papua.
Namun, yang membedakan adalah bentuk atap rumah Wae Rebo lebih kerucut
dengan atap yang memanjang sampai menyentuh tanah.
Naik
satu lantai, di lantai tiga atau lentar adalah lantai yang digunakan
untuk menyimpan benih tanaman untuk bercocok tanam. Sama seperti tingkat
1, 2 dan 3, tingkat juga memiliki namanya sendiri, yaitu lempa rae.
Lempa rae adalah tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang
berguna saat hasil panen kurang berhasil. Nah, jika masuk di lantai
paling akhir atau yang hekang kode, Anda bisa melihat aneka sesajian
yang disimpan pemilik rumah untuk para leluhur.
proses
pembangunan rumah ini adalah tanpa menggunakan paku, melainkan dengan
konsep pasak dan pen, dan diikat dengan rotan sebagai penguat setiap
tulang fondasinya. Menurut cerita dari masyarakat ini, banyak sekali
arsitek Indonesia dan luar negeri yang datang dan menginap untuk
mempelajari konsep rumah adat Wae Rebo ini.
Inti
dari semua ini, saya melihat dan merasakan hebatnya arsitek dari jaman
dahulu yang hanya tinggal 9 unit rumah serta terpelihara dengan baik
hingga sekarang di kampung Wae Rebo.
Bahan makanan seperti beras harus diimpor dari kampung tetangga. Untuk mendapat pelayanan kesehatan dan kebutuhan pendidikan bagi anak – anak, harus keluar dari Wae Rebo. Untuk menjual hasil kebun harus berjalan kaki ke pasar sejauh 15 km. Warga tidak pernah berjalan lenggang. Keluar dan masuk Wae Rebo selalu ada beban di pundak ± 15 kg, baik bagi pria maupun wanita.
0 komentar:
Posting Komentar